Kamis, 24 Maret 2022

The Spirit of Mars Madrasah

Kata “madrasah” terambil dari akar kata “darasa-yadrusu-darsan - belajar”. Kata madrasah sebagai isim makan, menunjuk arti “tempat belajar”. Sinonin madrasah dalam bahasa Indonesia adalah sekolah. Dalam bahasa Arab di atas, madrasah menunjuk pengertian “tempat belajar” secara umum, tidak menunjuk suatu tempat tertentu, dan bisa dilaksanakan di mana saja, rumah, mushola/ langgar, masjid atau tempat lain sesuai situasi dan kondisi. Tempat-tempat tersebut dalam sejarah lembaga-lembaga pendidikan Islam memegang peranan sebagai tempat transformasi ilmu bagi umat Islam. 

Berangkat dari pengertian ini, secara historis dapat disebut bahwa madrasah adalah tempat mata rantai dan penerus risalah kenabian, mulai dari sahabat, tabi'in, tabiut tabi'in hingga sampai kepada kita yang hidup hari ini dan saat dunia berahir nanti. 

Eksistensi Madrasah di Indonesia secara kelembagaan dalam catatan sejarah ada sejak tahun 1909 bernama "Madrasah Abadiyah" di Padang Sumatera Barat Oleh Syekh Abdullah Ahmad. Disusul Madrasah Shcoel yang didirikan pada 1910 di Kota Batu Sangkar, Sumatera Barat oleh Syekh M. Talib Umar. Lalu pada 1912, KH. Ahmad Dahlan pensiri Muhammadiyah mendirikan Madrasah dengan memadukan keilmuan agama dan umum. 

Kemudian secara berturut-turut, tahun 1913 ada Madrasah Al Irsyad di Jakarta, didirikan oleh Syeikh Ahmad Sokarti. Kemudian pada 1915 muncul Diniyah Schoel di Kota Padang Panjang, Sumatera Barat, didirikan oleh Zainuddin Labai el Janusi. Berikutnya pada 1926, salah satu organisasi Islam terbesar Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama (NU) didirikan di Surabaya oleh K.H. Hasyim Asyari, K.H. Wahab Hasbullah dan setelah itu mulai banyak pendirian madrasah. 

Sejarah madrasah di indonesia ini inheren dengan bunyi Mars Madrasah "Gema Madrasah Membahana, di persada bumi Nusantara". Maka tidaklah mengherankan jika hari ini Madrasah tumbuh subur mengisi ruang-ruang public kehidupan masyarakatnya, termasuk di Kabupaten Tuban yang dalam catatan kementerian Agama telah mencapai angka 614 (RA, MI, MTs, MA), belum lagi Madrasah Diniyah dan Pondok Pesantren yang tersebar di 20 kecamatan, 17 kelurahan, dan 311 desa. 

"Pengemban amanat, Mencerdaskan tunas bangsa, Santun berwibawa. RA MI MTs MA, Bahu membahu turut berjuang, Membangun bangsa, Bermartabat mulia, Demi cita-cita.".

Bunyi bait Mars Madrasah ini mengingatkan kita semua (kemenag, guru, ustadz, Kyai dan seluruh civitas akademi) adalah para pengembangan amanat Tuhan, Nabi, para penerusnya, orang tua, juga negara dalam mencerdaskan kehidupan umat dan kehidupan bangsa. 

Berkaitan dengan kecerdasan apa yang harus dikembangkan oleh pendidik "mudarris", Howard Gardner, dalam bukunya "Frames of Mind", seorang pakar pendidikan dan psikologi kebangsaan Amerika (1983) menyebut dengan "multiple intelegencia", kecerdasan majemuk (linguistik, emosional, intrapersonal, musikal, antarpersonal dan naturalis). Atau dalam perspektif Benyamin S Blom meliputi tiga tanah (kognitif, psikomotorik, dan afektif), yang dalam perspektif Ki Hajar Dewantara (niteni/ pengetahuan, nirokke/ keterampila, nambahi/ sikap). 

Konsepsi ini menjadi sumber kekuatan baru bagi pendidik untuk lebih luas dalam berkreativitas dan berinovasi di dunia pendidikan. Selain itu, setiap pendidik harus belajar meyakini bahwa dibalik keterbatasan siswa juga terdapat kelebihan yang belum tereksplor dengan baik. 

"Motto ihlas beramal, berkarya dan bermoral, ayo-ayo tegakkan. Falsafah Pancasila, Bhineka Tunggal ika, semboyan Bangsa Indonesia".

" Ihlas beramal", mengingatkan kita semua, bahwa apapun strategi, metode, model, media pembelajaran yang kita gunakan, tidaklah berarti apa-apa tanpa dilakukan dengan keihlasan. Imam Ghozali menyebutnya dengan "hati". Makna lain hati yang kotor tak akan mampu memberikan sinar. 
Bermoral juga faktor penting yang harus dimiliki oleh guru. Ki Hajar Dewantara menyebutnya dengan " Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Keteladanan guru melalui karakter positif adalah kunci penanam nilai bagi anak didik, baik dalam perspektif agama maupun Pancasila sebagai falsafah bangsa sebagai warisan luhur para "founding fathers" kita. 

Jika hari ini kita bisa berkarya, mengapa harus menunggu esok hari. Bukankah waktu tak kan pernah kembali, meski sedetik?? 

Penulis: Guru MI Salafiyah Prambontetgayang Soko

Tidak ada komentar:

Posting Komentar